Penyebab Gangguan Mental

Gangguan mental

Penyebab Gangguan Mental - Belum lama ini kita dikejutkan viralnya berita ibu membunuh anaknya. Belum reda persoalan satu itu, muncul lagi berita serupa yang tak kalah mengagetkan. Sejujurnya saya paling tidak sanggup melihat informasi semacam ini. Selalu skip dan tidak mau tahu. Karena setelah detail, akan ada sakit tersisa di hati. Namun kehebatan media sosial cukup membuat saya 'kalah'. Diskip juga, berita seperti ini hadir dimana-mana.

Gangguan mental. Demikian kesimpulan yang didapat tim medis, hasil observasi terhadap ibu tersebut (kasus ibu dengan tiga anaknya).

Sebagian orang mudah saja men-judge si ibu gila, tidak punya perasaan, tidak punya iman dan setumpuk penilaian negatif lainnya. Secara kasat mata, penilaian tersebut tidak salah. Meski sangat tidak perlu menurut saya, untuk dilontarkan. Terutama di media sosial yang bisa dibaca oleh banyak orang.

Karena perkataan demikian, tidak membantu sama sekali. Apa lagi bagi ibu yang tengah berjuang mengendalikan diri untuk tidak melakukan hal-hal buruk dalam hidupnya. Tapi tentu saya tidak memaksa, berdebat pun percuma. Yang ada bisa-bisa saya yang ikut emosi 🤭.

Oleh karenanya, saya mencoba berbicara di sini. Mengutarakan pendapat, sekaligus pemahaman yang saya punya. Mohon kiranya yang memiliki info lebih mendalam, sudi melengkapi di kolom komentar ya. Terutama memberikan koreksi jika pembahasan saya ada yang tidak tepat.

Gangguan mental itu apa?
Dikutip dari www.spada.fip.unm.ac.id, Gangguan mental adalah salah satu jenis gangguan pada seseorang yang dapat memengaruhi cara berfikir, memengaruhi emosi, dan tingkah laku pengidapnya.

Maka tidak aneh, jika orang yang mengalami gangguan mental, kelakuan, perkataan atau sikapnya terkadang tampak tidak normal. Karena tanpa disadari, gangguan ini mampu merubah diri seseorang.

Baca juga: Grand Launching Buku Antologi PULIH & Bincang Pulih

Apa saja penyebab gangguan mental?
Gangguan mental
1. Tekanan psikoligis dari lingkungan dan oleh orang-orang toxic.
Pasca melahirkan 8 bulan lalu, saya mengalami sulitnya mengendalikan emosi. Entah itu menangis atau marah, sangat sulit mengaturnya untuk tidak berlebihan. Saya katakan berlebihan, karena dalam 24 jam saya dapat marah atau menangis berkali-kali. Over sensitive! Semua salah.

Sebenarnya hal ini wajar. Karena rasa lelah dan perubahan hormon pasca melahirkan, mampu menciptakan suasana hati yang tidak terkendali. Barangkali jika saya berkonsultasi ke pusat kesehatan, saya tengah mengalami babybluse. Sayangnya saya tidak memeriksakan diri, karena terbentur pada keadaan.

Yang saya rasakan saat itu, lingkungan rumah sangat menyiksa. Menyusui dua anak sekaligus--jarak usia mereka tidak lebih dari dua tahun--membuat saya seakan mengurus bayi kembar! Sementara tubuh begitu lelah kurang tidur. Ditambah pekerjaan rumah yang tetap harus dilakukan. Sementara suami sering bekerja di luar rumah, bahkan menginap beberapa hari. Sungguh keadaan yang benar-benar tidak kondusif.

Belum lagi jika bertemu dengan orang yang tidak bisa memilah kata. Hal semacam:
"Kasihan kakaknya, jadi kurang perhatian ya."
"Waduh, rumahmu berantakan sekali."
"Kurusan ya sekarang kakaknya." dan bla bla bla. Kebayang kan toxic-nya? Bukan memberi support, malah makin memperkeruh perasaan. Orang-orang toxic yang bukannya meringankan, malah menambah berat beban yang memang sudah sangat berat.

2. Tekanan ekonomi
Pernah gak merasa pusing dan tertekan, kadang-kadang sedih dan putus asa, ketika sedang tidak memiliki uang sepeser pun, isi dapur kering, anak rewel sakit dan butuh berobat? Wah, rasanya dunia mau hancur. Belum lagi jika keadaan sulit ini harus dijalani bersama orang-orang toxic. Sungguh bukan hal mudah untuk dihadapi.

Nah, kondisi ekonomi memang bisa dihadapi dengan lapang dada dan pikiran terbuka untuk mendapatkan solusi, jika dalam kondisi normal. Jika kesulitan ini tidak terjadi sepanjang hari, selama bertahun-tahun, jika tidak di dalam tekanan lain. Namun ketika dilengkapi dengan penderitaan lain, rasanya kesusahan bertumpuk ini seakan tak memiliki solusi.

Perasaan makin kacau, seiring tubuh yang lelah karena tetap harus beraktivitas, sementara asupan energi tidak mencukupi. Sungguh membuat emosi tidak terkendali.

Baca juga: Rekomendasi Buku Self Improvement Terbaik

3. Kurangnya pemahaman tentang gangguan mental. sehingga lambat melakukan identifikasi gejala.
Seseorang yang mengalami gangguan mental, misalnya sulit memanagement emosi, tidak akan menyadari jika ini merupakan sebuah penyakit, jika tidak tahu bahwa gangguan mental adalah sebuah penyakit psikologis. Sudah pasti tidak akan merasa sebagai sesuatu yang harus diobatai. Makanya gangguan mental yang dibiarkan, makin menjadi dan bisa menjadi bom waktu. Dapat meledak tak terkendali. Menjadi sesuatu yang tak terbendung dan berbahaya.

Masih berhubungan denga poin sebelumnya, pemahaman yang salah menyebabkan tindakan yang tidak tepat. Namanya penyakit, mustinya gangguan mental diobati. Namun pemikiran salah, menganggap gangguan mental biasa saja, atau sesuatu yang lebay, tidak perlu berobat, sehingga berlarut jadinya.

Faktor biaya, waktu dan keadaan geografis juga tantangan bagi penderita gangguan mental, untuk melakukan pengobatan. Belum lagi pemahaman salah yang menganggap gangguan mental, disebabkan oleh gangguan gaib. Kemudian lebih memilih berobat ke non medis.

Setelah mengetahui beberapa penyebab terjadinya gangguan mental, seharusnya kita tidak abai dan menganggap remeh penderitanya. Terlebih menjadi toxic dengan sikap dan perkataan tak bermutu.

Wah, ternyata jadi panjang bahasannya. Oh iya, Mbak Inna di dalam blognya, marlinajourney.com, membahas pula mengenai kesehatan mental. Silakan dibaca untuk menambah referensi ya.

Semoga bermanfaat!

Komentar