Cinta Tanpa Syarat (Cerpen 2)

Cerpen cinta

Kalau belum baca bagian satu, silakan klik: Cinta Tanpa Syarat (Cerpen 1)

4 tahun kemudian.

Laras termenung. Menatap buah hatinya yang tengah terlelap. Putrinya itu baru berusia satu tahun. Sementara ia baru selesai menangis, melihat undangan pernikahan Citra. Ia tak akan dapat hadir dengan keadaannya saat ini.

Sungguh ia merasa sangat bersalah. Dia tak datang pada pernikahan Diah dan Winda. Lalu kini, saat hari bersejarah Citra, kembali hal yang sama terjadi.

Lamunan Laras buyar ketika suara ketukan pintu sampai di telinganya. Tergesa ia menuju pintu secepatnya. Itu pasti Rey, suaminya.

“Lama banget sih. Kamu tidur ya? Sore begini masih tidur,” tuduh Rey. Laras segera menyiapkan secangkir air untuk suaminya itu.

“Aku gak tidur. Baru nyusuin Nia,” bantah Laras.

Rey tak menanggapi lagi perkataan Laras. Setelah melepas kemeja kerjanya, ia segera masuk kamar mandi. Laras meraih kemeja Rey di lantai. Tubuhnya membeku seketika saat melihat bekas lipstik berbentuk bibir di bagian punggung kemeja Rey. Air mata mengaburkan pandangannya. Sementara kedua tangannya menggenggam erat hingga menambah kusut kemaja yang telah kusut itu.

Tak ada yang tersisa kecuali kecewa. Ini bukan pertama kalinya. Bahkan Laras tahu pasti jika dirinya diduakan. Dia sudah menemui perempuan itu. Dan bagai dicambuk puluhan kali, kehidupan membuatnya harus menerima kenyataan. Rey telah menikahi perempuan itu.

Laras berusaha mencari tahu kekurangannya. Tentu perbedaan besar ada pada seragam perempuan itu. Dia seorang wanita karir. Mandiri dan berpenghasilan sendiri.

Sebenarnya dia pun bisa begitu. Tapi selepas menerima ijazah, Rey mengutarakan harapannya agar Laras tidak bekerja dan menjadi ibu rumah tangga seutuhnya. Laras kabulkan keinginan itu. Tapi nyatanya, satu tahun setelah itu, Laras mengetahui kalau Rey tak setia. Pengorbanan Laras untuk di rumah saja dan rela hidup serba kekurangan, sia-sia sudah. Nyatanya Rey lebih memilih perempuan itu dari pada dirinya.
***

Citra mencoba menghubungi Laras. Tapi nomor handphone-nya tidak aktif. Citra sangat merindukan sahabatnya itu. Sejak Laras menikah, mereka tak pernah berhubungan lagi. Laras sangat sulit ditemui. Baru seminggu yang lalu ia menemukan akun facebook Laras. Bahagia tak terkira rasa hatinya.

Ia segera mengirim undangan elektronik pernikahannya, melalui akun medsos Laras. Tak ada balasan. Tak ada respon. Tapi baru saja Laras mengunggah sebuah status baru.

Tak sama lagi.
 
Ya. Hanya tiga kata itu isinya. Citra merasa tak nyaman. Apa sahabatnya itu benar-benar sudah berubah? Apa aku melakukan kesalahan, sehingga dia menjauh seperti ini? Pikiran Citra berkecamuk. Antara rindu, bertanya-tanya tak menentu, hingga hadir rasa was-was di hatinya.

“Hai calon pengantin. Kenapa melamun?” Sedikit terlonjak Citra menoleh ke asal suara. Tampak Diah dan Winda di ambang pintu kamarnya.

“Ya ampun, aku kangen kalian...,” Citra menghambur ke arah sahabatnya itu. Memeluk mereka satu-satu. Air matanya mengalir begitu saja. Rasa haru bercampur rindu, memenuhi hati.

“Eh, calon pengantin jangan nangis. Gak lucu kan kalau besok mata kamu kaya mata panda.” Diah mengusap pipi sahabatnya itu.

Terakhir kali mereka bertemu satu tahun lalu, saat pernikahan Winda. Diah dan Winda menetap di luar kota. Mereka datang khusus untuk Citra. Seperti kesepakatan, mereka akan menginap di sana.

Hari beranjak sore. Ketiga sahabat itu masih asyik bercoleteh ini dan itu.

“Bagaimana kalau kita datangi saja rumah Laras? Kita tanyakan pada orag tuanya di mana tempat tinggalnya sekarang,“ usul Winda.

“Boleh juga. Ayo sekarang,” timpal Citra. Dia sangat bersemangat. Rasa rindu begitu menggebu. Membuatnya tak mampu menahan diri.

“Eh, kamu gak usah ikut. Kamu akan menikah besok. Gak boleh ke luar lagi.” Bantah Winda.

“Gak. Aku mau ikut. Insyaallah tak akan terjadi apa-apa. Lagian kan gak jauh rumah orang tuanya Laras.” Citra berkuat. Akhirnya mereka pergi bertiga. Citra lah yang malah menjadi jadi driver.

Dengan informasi dari mama Laras, mereka mendapatkan alamat tempat tinggal sahabat mereka itu. Ternyata hanya butuh perjalanan 30 menit tanpa macet menujunya. Dan di sini lah mereka kini. Di depan sebuah rumah kayu sangat sederhana. Atapnya dari seng. Cat rumah sudah memudar, bahkan plester dinding di beberapa bagian ikut terkelupas.

Tapi ada ciri khas Laras di sana. Bunga anggrek dan mawar berbagai macam rupa, tengah mekar dan terlihat cantik tertata. Laras penyuka dua jenis bunga ini.

Belum ada yang membuka pintu mobil. Ketiga sahabat itu tengah sibuk dengan pikiran masing-masing. Tentu banyak praduga atas menjauhnya Laras dari mereka. Mereka saling pandang. Ada perasaan sedih melihat keadaan rumah Laras. Sejujurnya, rumah kayu itu tak layak huni. Di bawahnya air menggenang. Sampah mengendap sedemikian rupa. Beruntung, jalan menuju ke sini masih bisa dilewati mobil.

“Ayo kita turun.” Winda memecah kesunyian. Disambut anggukan Citra dan Diah.

Rumah yang bersih dan rapi. Terlepas sampah di area bawah, yang mungkin dibawa air entah dari mana. Memang demikian Laras. Selalu rapi. Pikir Citra.

Winda mengetuk pelan daun pintu. Dari luar, mereka mendengar suara anak kecil bermain. Tentu anak Laras., tebak mereka.

Selang beberapa detik kemudian, daun pintu terbuka. Raut wajah lelah dan tampak lebih tua dari semestinya muncul dari balik pintu. Seketika wajah itu pias melihat ketiga sahabatnya yang datang. Tubuhnya terasa bergetar. Perasaan bersalah, haru, rindu, dan malu berpadu menjadi satu.

Citra memeluk Laras. Air mata tak mampu ia bendung lagi.

“Aku kangen...” ucapnya di sela tangis. Tanpa terasa, bulir bening itu juga menitik di kedua pipi Laras. Sesungguhnya dia pun rindu. Teramat rindu. Tapi dia malu dengan keadaannya kini. Dia tak mau dikasihani.

Winda asyik bermain dengan kedua putri Laras di pojok ruangan. Diah meneliti seisi rumah itu. Sejujurnya, ia tak bisa mengatakan ini rumah. Hanya ada satu kamar tanpa pintu. Hanya gorden biru sebagai penutupnya. Kamar mandi menyatu dengan dapur, sekaligus ruang tamu tempat mereka duduk lesehan saat ini.

Ada rasa nyeri di hatinya. Ada rasa bersalah karena sempat berprasangka buruk pada Laras. Selama ini Diah menganggap Laras melupakan persahabatan mereka karena terlalu menikmati kebahagiaannya. Ternyata dia salah. Salah besar. Ia lupa, Laras cenderung menjauh jika ia dalam kesulitan. Satu hal, ia tak mau jadi beban.

Diah mengusap air mata yang jatuh perlahan. Ia berusaha menyembunyikan tangisnya. Tak ingin membuat Laras merasa tak enak.

“Kenapa kamu gak balas inbok aku?“ tanya Citra. Laras menatap Citra. Wajahnya berubah murung.

Aku tak ingin kalian melihat keadaanku. Aku tak ingin menjadi beban bagi kalian.

Diah dan Winda mulai serius mendengar perkataan Laras barusan. Pasti ada hal besar yang disembunyikan Laras dari mereka.

“Satu tahun setelah menikah, Rey menikah lagi dengan perempuan lain.” Sontak Citra, Winda dan Diah terbelalak. Mereka bahkan tak sadar menahan nafas mendengar cerita Laras.

“Aku tetap bertahan. Entahlah, mungkin aku bodoh. Tapi rasanya telanjur untuk mundur.” Tak ada suara. Ketiga sahabatnya terlalu terkejut.

“Aku hampir gila saat tahu hal itu. Sehingga Nia terlahir prematur karena tekanan yang kuderita. Aku sering berpikir untuk bunuh diri. Bahkan sampai sekarang.” Citra memeluk Laras. Air matanya mengalir demikian deras. Winda dan Diah pun begitu. Mereka sibuk mengusut pipi menghalau bulir bening itu.

“Maafkan aku Laras. Kupikir kau melupakan kami karena kebahagiaanmu bersama Rey,” ucap Diah sembari beringsut ikut memeluk sahabatnya itu.

Ini yang aku tak mau. Kalian menangisiku.

Suara Laras bergetar. Sekuat tenaga ia membendung air matanya. Namun tak mampu. Tangis mereka menjadi satu memenuhi ruangan. Nia yang asyik bermain ikut menangis karenanya. Diah menggendong Nia. Mendiamkannya.

“Ini tahun ketiga aku bertahan....”

“Tidak! Kau tidak boleh bertahan jika selalu tersakiti. Kau harus bahagia, Laras.” Winda memotong kalimat Laras.

“Biarkan kami membantumu. Biarkan kami tetap menjadi bagian dari dirimu, Laras. Kami tak ingin kau menderita seperti ini. Masih ada kami, sahabatmu ini. Tempatmu berbagi seluruh luka dan bahagia.” Giliran Citra yang bersuara.

Jangan simpan perihmu sendiri. Kami selalu ada untukmu.

Ucap Diah. Keempat sahabat itu kembali berpelukan.

Ya. Hubungan tanpa syarat adalah persahabatan. Rasa yang terjalin dari hati, kemudian menjadi bagian diri selamanya. Semoga waktu tak mampu menghapus jejak cinta kebersamaan dalam berteman, harap Laras.


Komentar

  1. Persahabatan yang indah jadi kangen sahabat deh

    BalasHapus
  2. Ini lanjutan yang cerita kemarin ya? Wah, udah 4 tahun berlalu sejak pernikahan malah kondisi Laras makin memprihatinkan.

    BalasHapus
  3. Sedih baca ceritanya, ternyata perkawinannya akhirnya seperti itu.

    Sebagai sahabat memang seharusnya kita selalu ada dan memberikan dukungan saat teman kita mengalami masalah. Karena memang sahabat adalah sebuah hubungan tanpa syarat. Saling peduli dan saling menyayangi.. .

    BalasHapus
  4. Persahabatan memang seharusnya menjadi hubungan tanpa syarat. Tidak hanya mau didengarkan tapi mau mendengarkan juga. Bagus mba cerpennya

    BalasHapus
  5. Banyak kisah yang sama seperti ini di dunia nyata. Semoga saja bisa dijadikan hikmah untuk orang lain

    BalasHapus
  6. Empat sahabat, jadi inget serial Sex & The City...jadul ya 😊
    Ini Laras masih sedih nih, tar sampai part berapa ceritanya. Semoga Laras & friends happy ending nantinya *ngarep..hihi

    BalasHapus
  7. Waah sayangnya saya belum baca bagian pertamanya nih. Baru membaca bagian yang kedua saja sudah bagus jalan ceritanya tentang persahabatan. Jadi tambah penasaran

    Oke balik lagi baca yang pertama, dan nanti tinggal nerusin baca bagian kelanjutannya. Makasih...

    BalasHapus
  8. Wah ceritanya bagus banget kak aku jadi terbawa masuk kesitu kasihan banget udah diduakan nanti ada lanjutannya engga kak

    BalasHapus
  9. Suami yang perundung macam Rry harus ditenggelamkan!
    Enak saja menuduh istri tidur padahal nyusin anaknya, masih pula bersihin bukti selingkuhan.

    Kenapa saya sewot. :D

    BalasHapus
  10. meleleeehh... semoga kehidupan Laras makin baik dengan dukungan ketiga sahabatnya, ya

    BalasHapus
  11. Dalem bgt ya ampun mbak. Rey kebangetan bgt, menikah lg. Laras2. Ada berapa banyak laras2 di luar sana ya, ngilu bgt rasanya. Untung ke 3 sahabatnya nyamperin, jd ada tempat cerita. Kok jd melow aku. Huhu

    BalasHapus
  12. Alhamdulillah masih ada para sahabat yg peduli dengan Laras. Di dunia nyata masih banyak Laras lain yg terkungkung dalam tekanan batin. Tetap bertahan dengan alasan demi sang buah hati, padahal mereka lupa, kebahagiaan ibu adalah kunci utama agar dapat mendidik buah hati kita.

    BalasHapus
  13. mengharu biru bacanya ternyata tentang persahabatan aku kira tentang cinta, karena beberapa hari ini lagi nontonin film turki yang cinta tanpa syarat bagus banget hehehehe

    BalasHapus
  14. Beneran...nangis daku bacanya Mbak. Pesan cerpen ini dapet banget. Betapa banyak perempuan seperti Laras di sekitar kita. Berbahagialah dengan adanya sahabat, tempat berbagi yang tak kenal lelah.

    BalasHapus
  15. Tega banget sih.. Kasihan Laras.. Apalagi pas mungutin kemeja suami dan lihat bekas lipstik.. Kenapa ada laki-laki macam Rey :(

    BalasHapus
  16. selalu kesal dengan cerita suami yang tergoda dengan wanita lain namun kejam dengan istri yang pertama mendampinginya...yang sabar ya laras, kini kau memiliki teman-teman yang mendampingi..kamu harus kuat demi anak-anakmu

    BalasHapus
  17. Duh, sedih amat Mbak. Ada ya wanita yg bertahan dg kondisi Pas pasan sedangkan suami nya punya istri lain. Wanita luar biasa itu. Semoga endingnya bagus ya Mbak, hehe

    BalasHapus
  18. Sedih baca kondisi Laras yang tak berdaya. Dia depresi banget sampe pengen bunuh diri ya. Smoga tambah kuat setelah bertemu dengan sahabat2nya

    BalasHapus
  19. Bersyukur Laras masih memiliki sahabat yang baik. Dalam kehidupan nyata terkadang perempuan harus berkutat sendiri dengan maslaahnya yang pelik

    BalasHapus
  20. Saya kira pernikahannya batal karena penghianatan persahabatan. Syukurlah kalau persahabatannya baik. Karena sedih juga sebagai sahabat ternyata jadi penghianat. Senang rasanya kalau sebuah persahabatan selalu jadi pengingat.

    BalasHapus
  21. Bersyukur banget ya Laras punya sahabat kayak Citra dkk. Saya dalam kondisi gak punya sahabat kental saat ini. Semoga suami juga gak macem2 deh soalnya beliau tau banget sahabatnya saat ini cuma dia hihi... suamiku sahabatku

    BalasHapus
  22. Sebaikny Laras segera membuang Rey demi kesehatan mentalny :)
    Bersyukur Laras masih punya sahabat yg tulus
    Sudah waktuny dia bangkit

    BalasHapus
  23. Ya Allah, suaminya selingkuh mbak? Kasihan amat sih.:(

    BalasHapus
  24. Persahabatan yang tulus dan menerima apa adanya adalah salah satu rezeki menurutku :) cerpen yang bagus mbak

    BalasHapus
  25. Waduh saya baru nemu blog Ayuk Deris nih. Udah bagian ke-4 saja. Saya baca dari bagian pertama dulu brrti. hmm

    BalasHapus
  26. Ah, kok kasihan sama Laras, ya. Padahal baru nikah setahun, suami udah nikah lagi sama perempuan lain. Kalau saya kayanya enggak bisa bertahan. Untung ada sahabat-sahabatnya yang baik. Moga Laras happy ending, ya, kasian ... biar dia bahagia.

    BalasHapus
  27. Ditunggu lanjutannya kak, happy ending ya. Suka nyesek kalau tema ngiris bawang gini.

    BalasHapus

Posting Komentar

Silakan berkomentar dengan baik dan bijak. Terima kasih sudah mampir dan meninggalkan jejak 🤗