Cinta Tanpa Syarat (Cerpen 1)

Sebuah kisah tentang cinta. Cerita yang selalu berwarna dan berliku. Memberi hikmah dan campur aduk rasa. Mari menyelaminya.

Cerpen cinta

“Aduh, apa harus ya aku diasapin gini?” Laras meringis kepanasan. Keringat mulai mengalir dari seluruh tubuhnya. Bagaimana tidak? Tiga orang yang kini tegak mengawasi, memaksa agar ia mau betangas.

“Harus Laras..., biar badanmu wangi dan bersih. Pengantin harus cantik dan bersinar,” jelas Winda. Sementara Citra dan Diah, setia berdiri melipat tangan di kiri dan kanan tubuhnya.

Laras merasa tersiksa. Uap air hasil rebusan rempah-rempah diletakkan tepat di bawah kursi yang ia duduki. Sempurnanya lagi, kursi itu bolong memanjang di bagian dudukannya, sehingga uap sempurna mengenai tubuhnya. Plus lagi, sekeliling kursi ditutupi rapat dengan tikar dan beberapa lapis kain. Pengalaman paling menderita yang pernah dirasakan Laras.

“Udah ya, aku rasanya mau pingsan,” rengek Laras.
No! 10 menit lagi,” Winda menimpali. Laras hendak berdiri, namun kembali terduduk gelisah karena Citra dan Diah beraksi. Kompak mereka menekan kedua bahu Laras memaksanya pada posisi semula.

“Tunggu aja, nanti kalau kalian nikah, aku bakal maksain kalian betangas juga!” Laras benar-benar geram. Tapi apa daya. Jika ketiga sahabatnya ini telah sepakat, mau tak mau ia harus ikut. Sementara Winda, Citra dan Diah, hanya mengulum senyum.

Sesi tangas betangas usai. Laras kehausan sekaligus kelaparan. Seperti usai kerja rodi saja. Sambil mendinginkan suhu tubuh, ia minum dan memakan beberapa iris bolu.

Keesokan harinya adalah hari yang ditunggu-tunggu. Akad nikah akan dilaksanakan pagi itu. Laras tak bisa tidur sejak pukul empat dini hari. Ia merasa gelisah. Tentu saja menghadapi hari sakral seumur hidup itu membuatnya gugup.

Apa pilihanku sudah tepat? Apa tidak terlalu cepat? Apa ini yang terbaik? Pertanyaan yang mewakili kebimbangan hati itu terus berputar di kepalanya.

Benarkah Rey lelaki yang tepat untuk jadi imamnya? Ijazah sarjana belum di tangan, sementara hari ini hari pernikahannya. Entah mengapa, pernikahan yang sejatinya membuka lembaran baru, malah ditakuti menjadi penutup lembaran lama yang seharusnya dilanjutkan.

Laras ragu. Tentu saja. Meski ia sudah membicarakan tentang pendidikan ini. Dan Rey sudah menyetujui kalau selepas menikah, Laras tetap boleh menyelesaikan kuliah. Akan tetapi, keraguan masih bergelayut di hati.

“Pejamkan matamu ya. Kita mulai makeup-nya.” Laras mengikiti intruksi ahli rias yang disewa keluarganya.

Sreg... Sreg... Sontak Laras membuka matanya.

“Tunggu, ini alisku diapain, Tante?” Tanya Laras cemas. Ia melihat pisau cukur mini ada di genggaman ahli riasnya. Seketika hatinya merasa berdosa.

“Aku gak mau cukur alis. Cukup di-makeup seadanya aja,” ucapnya bergetar menahan tangis. Sementara ahli riasnya kebingungan, Laras memilih ke luar kamar. Ia bertubrukkan dengan Diah. Diah panik melihat sahabatnya itu menangis dan terburu-buru ke luar kamar.

“Kenapa? Kok nangis?” Diah bertanya pada Laras. Mereka sudah menyepi di teras lantai dua.

Alisku dicukur. Aku berdosa, Diah.

Kembali air bening mengalir membanjiri pipi Laras. Diah mengusap punggung sahabatnya itu. Menenangkan hatinya.

“Sudah. Nanti aku bilang ke ahli riasmu. Dia gak tahu kalau cukur alis itu dilarang dalam Islam. Kamu gak dosa, Laras. Ini kan bukan kemauan kamu. Tunggu ya. Aku ke bawah dulu.” Diah bergegas menemui Tante Tindi dan menjelaskan perkara alis ini.

Hari makin siang. Tak banyak waktu lagi, sebelum mempelai pria dan keluarganya tiba. Laras kembali dirias. Tapi suasana sudah berubah. Laras merasa berdosa, sementara Tante Tindi terlihat tak antusias dengan makeup-nya. Ia masih tak terima Laras tak mau cukur alis. Semua pengantin yang selama ini ia hias, tak merasa keberatan dicukur alis. Termasuk pengantin berjilbab sekalipun.

Proses terakhir adalah menggunakan Mahkota Aesan Paksangkong (hiasan kepala, khas pengantin perempuan Palembang).


“Pakai jilbab ini,” ujar Tante Tindi dengan wajah masam. Laras mengerutkan kening melihat jilbab yang disodorkan padanya. Bagaimana ia akan memakai itu? Hanya selembar kain berwarna emas, dengan lobang jaring sepenuhnya. Jelas kain ini tak akan menutupi rambut dan lehernya. Laras menggeleng.

“Aku gak mau pakai ini. Biar aku gunakan jilbab yang lain.” Tegas Laras.

“Laras, semua penganten Palembang pakai jilbab ini. Kan nanti tertutup sama hiasan kepala. Yang pakai cadar aja pakai jilbab ini.”

Deg. Laras merasa tersulut emosi. Apa aku harus berdebat? Sekarang? Laras menggelengkan kepalanya. Mencoba menepis amarahnya.

“Gak, Tante. Aku akan cari jilbab lain.”

“Kalau jilbab lain, nanti susah pasang hiasan rambutnya ini. Jilbabnya gak bolong.” Tindi masih berkuat dengan pendapatnya. Citra masuk ke kamar ketika mendengar perdebatan Laras.

“Citra, kamu punya jilbab warna kuning emas gini gak? Aku gak bisa pakai ini.” Laras menunjukkan kain jaring pada Citra. Sahabatnya itu tak dapat menutupi keterkejutannya.

“Aku punya. Pakailah,” ujarnya.

“Tapi bakal rusak. Nanti bakal ditusuk pakai hiasan konde ini,” jelas Laras.

Udah gak papa. Demi aurat kamu. Jilbab bukan apa-apa.
***

BERSAMBUNG
Klik: Cinta Tanpa Syarat (Cerpen 2)



Komentar

  1. Bagus ceritanya perempuan itu harus menutup auratnya carpet yang baik

    BalasHapus
  2. Waah..nanggung nih motong ceritanya..hehe.. OK deh, duduk manis nunggu lanjutannya

    BalasHapus
  3. Bagus sekali cerpennya ka. Mempunyai pendirian yang teguh itu sangat penting ya. Aku suka banget sama watak dari Laras ini :)

    BalasHapus
  4. Menarik cerpen ini mengangkat budaya pengantin Palembang beserta problematikanya yang mungkin dekat dengan keseharian masyarakat di sana

    BalasHapus
  5. Jadi pengantin yang sesuai adat itu memang repoooot.... Ampun dah. Apalagi yang masih ketat pegang adatnya.
    Saya dulu juga bilang kalau alir dikerok, ga jadi didandanin deh... Lalu katanya cuma dirapikan. Tetap tipis juga dan modusnya sudah telanjur.

    Sudah 17 tahun kok saya masih kesal juga kalau ingat dibohongi. WKwkwk.

    BalasHapus
  6. menarik banget ini ceritanya yaa hihihi, hal kaya gini sebenernya masih banyak dijumpai, ditunggu cerita lanjutanya ihihihi

    BalasHapus
  7. Bagus nih ceritanya. Bercerita seputar perasaan menjelang menikah dan tradisi adat yang harus dilalui. Jadi penasaran banget dengan kelanjutannya

    BalasHapus
  8. Nah, itu dia. Penganten kadang suka serba salah soal riasan. Kalau nggal teguh pasti periasnya melakukan sesuai kebiasaan.

    BalasHapus
  9. Pas baca alis dikerok sama tukang riasnya aku jadi ikut kesel. Dulu aku juga pernah pas di make-up, tau2 alisku ditipisin gitu aja tanpa nanya dulu. Aku masih dongkol sampai sekarang, ha, ha.

    BalasHapus
  10. Wah, mbaknya bagus juga cerpennyam.ditunggu cerpen berikutnya.

    BalasHapus
  11. Bagus banget ceritanya kak dan cara menceritakannya bikin aku jadi ngebayangin suasana disana saat itu kakak berbakat banget jadi penulis

    BalasHapus
  12. aku suka baca kayak cerpen begini, imaginasiku langsung bermain, membayangkan suasana pernikahan yang akan terjadi, aku sampai cari-cari apa itu betangas hehehe, bagus pesan moralnya ya, meski saya tidak berkerudung tapi saya sangat mendukung jika seseorang sudah memutuskan menutup auratnya, dia harus menjaganya meski kadang harus bertentangan dengan sebuah ada atau budaya

    BalasHapus
  13. Membayangkan laras dalam busana pengantin Palembang Paksangko pasti cantik banget ya, gak sabar menantikan sambungan ceritanya

    BalasHapus
  14. Dak galak ngomong yuk deris klo nulis cerito ini

    BalasHapus

Posting Komentar

Silakan berkomentar dengan baik dan bijak. Terima kasih sudah mampir dan meninggalkan jejak 🤗