Tapi itu tidak benar! Aku memutuskan berpisah, bukan karena tak mencintainya. Aku hanya ingin menjaga jilbab yang kukenakan ini.
Dulu kami berkomitmen tak akan sering bertemu atau jalan berdua, tapi nyatanya? Kedua insan yang dimabuk cinta, tak kan mampu mengendalikan perasaan rindu yang selalu muncul, walau setiap hari di sekolah, kami selalu bertemu.
Mengantar pulang, menemani ke kantin, mengerjakan tugas berdua, menelepon, bahkan datang ke rumah ketika hari minggu. Ini sudah di luar kesepakatan. Aku tidak mau melangkah lebih jauh karena kebersamaan itu.
Tapi aku salah cara. Emosi yang menggebu, membuatku memaksakan kehendak padanya. Melupakan bahwa ia juga butuh waktu menerima alasanku. Kesalahan kedua, aku tak jujur mengatakan alasan sebenarnya. Mungkin aku pengecut. Aku pikir, jika kukatakan yang sesungguhnya, ia akan mengira diriku sok suci. Dan aku tak mau itu. Aku hanya berusaha dirinya dan diriku menjadi lebih baik.
“Kita putus ya...,” suatu siang, tiga bulan sebelum ujian akhir SMA, kukatakan keinginanku.
“aku ingin konsentrasi belajar. Kamu juga harus. Kebersamaan kita menggangguku.” Riyan menatapku tajam.
“Aku enggak mau,” jawabnya. “Itu bukan alasan. Nilai tak akan terganggu dengan hubungan kita. Aku malah makin semangat sekolah,” terangnya. Aku tak berani menatap matanya. Karena dia benar, itu hanya alasanku saja.
“Terserah kamu. Yang jelas, aku enggak bisa lagi menjalani ini.” Kutinggalkan ia naik angkot menuju rumahku. Angkot mulai melaju, kutatap Riyan yang semakin jauh tertinggal, jelas ia marah dan tak terima keputusanku. Hatiku terenyuh, merasai perasaan sesak yang membuat mataku berkabut. Bulir bening itu, jangan sampai menitik, atau aku tak akan pernah bisa berkeras untuk menyudahi ini.
Keesokan harinya, seperti biasa, meski rumahku sangat jauh, aku selalu datang pagi. Sangat pagi, bahkan sering sebagai siswa pertama yang hadir di sekolah.
Aku segera ke kelas, bermaksud meletakkan tas di dalam loker meja. Sampai di kelas, aku terkesiap saat berpapasan dengan Riyan di pintu masuk. Aku mundur, membiarkan ia masuk terlebih dahulu, lalu menyusul. Sekuat tenaga kunormalkan detak jantung yang tak beraturan. Suara dentumnya seakan terdengar di telinga. Sementara ia masih terlihat marah. Kami tak berbicara satu sama lain.
Di dalam kelas aku terkejut, ia telah menumpuk beberapa meja dan kursi hingga tinggi, ketika aku masuk, ia menendang tumpukkan itu. Kursi dan meja kayu berjatuhan tepat di depan mataku. Menimbulkan suara gaduh. Meninggalkan wajah pucat pasiku karena rasa terkejut yang tak terkira. Ia lalu pergi meninggalkanku dengan keadaan kelas demikian.
Aku menarik napas lelah. Aku paham dia terluka, maka kuterima semua luapan perasaannya selama itu tak melukai orang lain. Kurapikan meja dan kursi, yang syukurnya tak ada yang rusak. Ichwan, teman sekelas kami juga melihat semuanya, ia baru saja akan masuk ke kelas, ketika Riyan menendang tumpukan meja dan kursi.
“Kamu enggak papa?” tanyanya, sembari membantuku merapikan kelas. Aku mengangguk kecil.
“Apa kalian bertengkar? Tanyanya lagi. Aku menimbang, apa harus mengatakan pada Ichwan bahwa kami putus, atau tidak? Tapi tentu teman-teman harus tahu. Terutama teman laki-laki, agar mereka dapat membantu menenangkan dan menyemangati Riyan.
“Kami putus. Kemarin,” jawabku. Ichwan menatapku tak percaya.
“Kenapa? Kalian terlihat baik-baik saja dan hubungan kalian baru berjalan satu bulan!”
By Jilbert ebrahami |
“Aku yang memutuskannya. Riyan tak bersalah, aku hanya ingin konsentrasi belajar. Kita mau ujian. Sayangnya Riyan tak bisa terima. Dia marah padaku.”
Ichwan hanya melongo tak percaya. Aku tahu ia merasa prihatin dengan berakhirnya hubungan kami; Putus cinta, dan pertemanan pun retak bak kaca pecah seribu. Semuanya berakhir.
Bersambung ke bagian 3 (end)
*Picture 1 by Steve Halama unsplash.com
Komentar
Posting Komentar
Silakan berkomentar dengan baik dan bijak. Terima kasih sudah mampir dan meninggalkan jejak 🤗