Rumahku Syurgaku


Kalau kita mau saling menuntut, maka tak kan ada habisnya salah paham dan buruk sangka ini. Harusnya kita saling memahami. Karena setiap keputusan yang diambil ada alasannya. Tidak semua alasan itu kita ketahui, bahkan seringkali kita tidak memahaminya. Karena kita tidak dalam posisi seperti dia.

Ada beberapa hal yang menurut saya cukup menyakitkan. Meskipun pada akhirnya saya mampu berlapang dada. Karena saya paham, disini adalah jalan dakwah untuk saya berjuang. Saya mengerti, mungkin maksud saudara-saudara tercinta saya adalah untuk kebaikan bersama.

'Jika tdk melakukan verifikasi ulang dianggap mengundurkan diri...'

Apa yang terpikirkan ketika membacanya? Jujur, ada rasa menusuk di hati. Apakah saya telah terusir? Apakah saya tidak dibutuhkan lagi? Apakah karena tanpa kebberadaan saya rumah tetap akan terjaga? Pertanyaan-pertanyaan yang wajar sekali muncul.

Iuran. Wajib perbulan. Menunjukkan eksistensi atau kesungguhan. 10 atau 5rb. Ah kecil, cuma segitu. Gak bakal jadi beban. Baiklah, itu mungkin berlaku untuk banyak orang, tapi buat saya? Apakah kalian memahami bahwa membeli beras saja seringkali mesti ngutang. Apakah kalian tahu bagaimana sulitnya perekonomian saya?

Kontribusi. Kehadiran. Keikutsertaan. Keaktifan. Memang tidak bisa dihindari, berorganisasi harus berkoordinasi. Rapat dan kajian. Pertemuan untuk pembahasan. Tapi, bagi kami yang tidak semudah kalian untuk mobile, butuh perjuangan ekstra, bahkan super ekstra melakukannya. Mohon tidak disamakan dengan yang lain, yang meski banyak anak, banyak kesulitan ia tetap mampu mobile. Karena permasalahan yang kami alami mungkin jauh lebih kompleks.

Siapa yang mau pergi dari rumah sendiri? Dimana disana tempat dilahirkan, dibesarkan, suka duka dan kenangan manis pahit yang tak mau dilupakan. Tapi keadaan selalu tak sama. Adakah yang klarifikasi mengapa sekian tahun saya fakum dan bahkan tenggelam entah kemana? Tidak. Kecuali sekedar tanya kabar dan basa basi. Yang saya rasakan, saya benar-benar sendiri.

Adakah yang tahu, atau dimanakan saudara-saudara serumah dulu ketika saya mengalami depresi berat menghadapi babak baru kehidupan pribadi saya? Apakah kalian tahu bagaimana saya mengendalikan diri untuk tetap waras dibawah tekanan baby blues? Entah. Tahu atau tidak. Mau mengerti atau tidak. Perduli atau tidak. Saya tidak paham. Yang saya rasakan, ketika saya sendiri. Menyendiri karena permasalahan psikologis saya, saya benar-benar sendiri. Tidak ada yg mendekati saya.

Apakah saya melarikan diri? Apakah saya tidak mau berkontribusi? Apakah saya tidak perduli dengan saudara-saudara saya yang tertatih membangun rumah kita? Tidak. Saya tersesat. Saya hampir gila. Bahkan ketika saya ingin kembali, saya sudah malu dan merasa tidak menjadi bagian dari rumah lagi. Padahal, sedikitpun saya tidak berniat untuk pergi. Begitupun saudara-saudara lain yang masih tak kunjung pulang. Mari kita cari, mari kita beri petunjuk arah pulang, mari kita jemput, atau biarkan pintu tetap terbuka agar mereka tak ragu untuk masuk.

Baiklah, saya kecewa, tapi saya ingin kembali, karena seingat saya, rumah adalah tempat kembali. Sepaham saya, Alloh tujuan saya. Bukan karena manusia saya ada dan berdiri disini. Dirumah lah salah satu perjuangan terindah saya. Jadi, tidak perlu saling menuntut dan menyalahkan. Setiap kita punya alasan. Hanya cobalah untuk saling mengerti dan memaafkan. Disini kita punya tujuan yang sama, maka tetaplah saling mencintai.

7 Juni 2017
*curhat hangat.

Komentar

  1. Mbak Deris...saat kami tiba di rumah baru, Kami bertanya-tanya, kapan penghuninya pulang. Kami ingin berkenalan, kami ingin mendapat bimbingan. Kami ingin bersatu untuk lebih memperindah rumah itu, rumah kita. 😊😊😊

    BalasHapus
    Balasan
    1. Selamat datang sayang. Disini ada tangis dan bahagia. Disini akan selalu ada salah paham dan memaafkan. Tinggallah dirumah. Perindahlah rumah kita. Hangatkan dan ramaikan.

      Hapus

Posting Komentar

Silakan berkomentar dengan baik dan bijak. Terima kasih sudah mampir dan meninggalkan jejak 🤗