Seberapa penting ‘menyekolahkan’ anak usia dini?


Oleh Deris Afriani, S.Pd.I
(Guru TK Islam Terpadu Bina Ilmi Palembang)

Jika melihat pada masa pertumbuhan dan perkembangan fisik, maka anak usia dini adalah rentang usia dari 0-6 tahun. Usia 0-2 tahun disebut fase infant (bayi), dan rentang usia 2-6 tahun termasuk dalam fase early childhood (anak kecil). Dalam Islam, tahap perkembangan penting pada anak terbagi dalam tiga fase : Tahap pertama saat anak dapat berjalan hingga usia 7 tahun. Tahap ini adalah masa anak melihat dan meniru apa yang dilihatnya. Tahap kedua adalah tahap perintah, yakni dari usia 7-10 tahun. Tahap ketiga adalah tahap hukuman, dari usia 10 tahun dan seterusnya.  Merujuk pada pembagian tersebut, maka pembahasan kali ini difokuskan pada anak usia dini sesuai dengan masa pertumbuhan emasnya (golden age). Yakni usia pra sekolah dasar. Rentang usia 2 hingga 7 tahun.

Ada beberapa karakter khusus yang dimiliki anak usia dini. Dimana karakter ini perlu mendapatkan perhatian spesial dalam perkembangannya. Karakter yang pertama adalah egosentrisme yang masih tinggi. Pada masa ini semua pemikiran anak tertumpu pada dirinya. Ia lebih cendrung berbicara tentang dirinya sendiri, dan bertindak untuk kebaikan dirinya sendiri. Karakter ini dapat dilihat dari perilaku anak sehari-hari. Misalnya berebut mainan, tidak mau antri, tidak mau mengalah, sulit meminta maaf, suka menangis untuk mendapatkan keinginannya dan atau memaksakan kehendak pada orang tua dan temannya.

Karakter yang kedua anak usia dini adalah perkembangan fisik yang pesat. Dalam usia dini, terlihat jelas pertumbuhan tubuh anak begitu cepat. Baik tinggi atau berat dan besar badan. Pertumbuhan otak juga terjadi sedemikian pesat. Maka tidak heran pada usia dini, anak-anak lebih cepat membutuhkan baju yang baru juga rangsangan yang tepat bagi tumbuh kembang fisik dan psikologisnya.

Karakter yang ketiga adalah gerakan motorik yang belum sempurna. Karena fisik yang masih dalam proses pertumbuhan, anak usia dini masih sering terlihat kaku dalam gerakannnya. Ia masih sulit berdiri atau melompat dengan satu kaki, masih salah memagang pensil dan sulit menulis dikarenakan otot tangan yang belum lentur. Mereka bahkan belum terlatih dalam menyusun benda atau barang-barang milik mereka sendiri.

Karakter keempat yang dimiliki anak usia dini adalah kemampuan bahasa yang masih terbatas. Pada usia dini anak masih belajar menyebutkan kata dengan sempurna. Misalnya saja dalam pelafasan huruf  R yang masih menjadi L (rumah = lumah), atau huruf S yang masih menjadi C (susu = cucu). Anak usia dini juga mulai mampu menceritakan hal-hal menarik bagi dirinya kepada orang lain. Meskipun masih dengan terbata-bata, memiliki jeda yang cukup lama atau pengulangan kata yang sama berkali-kali.

Lalu perlukah anak usia dini disekolahkan? Apakah nantinya tidak menjadi beban bagi mereka dalam menjalani pendidikan dimasa dini tersebut? Perlu dipahami, bahwa yang dimaksud ‘sekolah’ pada anak usia dini bukanlah pendidikan yang rumit dan komplek seperti jenjang pendidikan Sekolah Dasar. Sekolah pada anak usia dini seharusnya hanya pengalihan tempat pengasuhan terhadap mereka. Dimana di sekolah mereka harus bebas bermain dan selalu merasa senang. Hal ini menjadi syarat mutlak bagi lembaga pendidikan anak usia dini. Sebab anak usia dini belajar dengan dan dalam bermain. Mereka harus merasa senang dan merdeka. Sudah seharusnya anak usia dini dididik dengan perhatian dan kasih sayang tanpa batas.

Ada kriteria tertentu yang harus dimiliki lembaga pendidikan anak usia dini yang baik. Artinya sebelum menyekolahkan anak, orang tua harus mempertimbangkan dengan matang dalam memilih sekolah. Lembaga pendidikan anak usia dini seharusnya memiliki tenaga pendidik yang mumpuni. Guru yang memahami jiwa anak. Guru harus mampu mendidik anak sesuai dengan perkembangannya (developmentally appropriate practice). Yakni mendidik anak sesuai dengan usianya, sesuai dengan individu anak yang unik, sesuai dengan lingkungan sosial budayanya.

Selain tenaga pendidik yang mumpuni, sarana dan prasarana sekolah juga harus memadai. Anak usia dini menyukai berlari dan bermain. Berlari adalah sebuah kebutuhan bagi fisik mereka, maka sudah seharusnya sekolah memiliki ruangan kelas yang luas. Sekolah juga harus memiliki bermacam mainan edukatif, sebagai sarana belajar sambil bermain bagi mereka. Selain itu sekolah juga harus memiliki cukup perlengkapan  untuk bahan praktik pembelajaran. Karena anak usia dini akan lebih tertarik belajar melalui media langsung yang unik dan menarik. Untuk mengetahui apakah suatu lembaga atau sekolah memenuhi kriteria kelayakan atau tidak, orang tua dapat mencari informasi dengan bertanya langsung kesekolah yang dituju dan meminta pendapat dari orang tua lain yang menyekolahkan anaknya disana. Selain itu sangat dianjurkan untuk melihat langsung proses kegiatan belajar mengajar yang sedang berlangsung.

Menilik dari karakter khusus yang dimiliki anak usia dini, yang pada kenyataannya sangat membutuhkan rangsangan dan arahan sebagai perhatian khusus terhadap pemaksimalan tumbuh kembangnya, maka ‘menyekolahkan’ mereka adala pilihan tepat. Apalagi jika sebagai orang tua tidak memiliki waktu yang cukup untuk mendampingi putra-putri kita—bekerja di luar rumah—akan jauh lebih baik mereka ‘belajar’ banyak hal di sekolah dari pada tinggal bersama pengasuh.

Bahkan bagi orang tua yang tidak bekerja, ibu rumah tangga misalnya, meskipun mendampingi anak 24 jam, seringkali lalai memperhatikan rangsangan terhadap pertumbuhan perkembangan mereka. Hal ini wajar, mengingat pekerjaan rumah tangga tak ada habisnya, menyita waktu dan tenaga. Tidak jarang anak dibiarkan begitu saja menonton telivisi dan bermain gadget berjam-jam atau malah bermain di luar rumah tanpa pengawasan.

Namun begitu, seunggul apapun pendidik atau sekolah untuk anak usia dini, sebagai orang tua, mendidik anak tetap menjadi kewajiban utama dan berlaku seumur hidup. Anak adalah amanah dari Tuhan yang harus dipertanggunjawabkan. Menyekolahkan mereka hanyalah bagian dari usaha untuk pemaksimalan pemberian kebaikan terhadap mereka.
***
Artikel ini sudah diterbitkan di koran Palembang Ekspres, Kamis 16 maret 2017.

Komentar