Cerpen: Bocah Dua Dunia Ferdiyan

womentalk dot com
Kamu pilih aja ya mana Heri mana Ferdiyan 😁

“Kamu yakin enggak masuk? Mata kuliah ini enggak main-main lho Yan,” Heri meyakinkan Ferdiyan sekali lagi. 

Ia sibuk memasukkan beberapa buku pendukung kuliah hari ini ke dalam ransel hitamnya. Sementara Ferdiyan masih leyeh-leyeh santai di kasur. Setidaknya tiga buku bertema Gastrointestinal sudah menghuni tas itu. Sebuah diktat panduan baru saja akan ikut masuk tas, namun urung, karena Ferdiyan mengambil diktat tersebut, PANDUAN BLOK GASTROINTESTINAL DAN HEPATOBILIER, demikian judul lengkapnya. Ferdiyan membaca lembaran selanjutnya, 

Gambaran umum: Blok Gastrointestinal dan Hepatobilier, akan dilaksanakan pada semester 5, tahun ke-3 dengan beban 6 sks dan waktu 6 minggu yang terdiri dari 5 minggu aktif dan satu minggu ujian. Pada bab ini mahasiswa akan belajar tentang gangguan sistem gastrointestinal dan hepatobilier, meliputi pengetahuan tentang etioligi, patofisiologi dan patogenesis, penegakkan diagnosis dan pengelolaannya....

fk unila ac id

Cukup! Rasa muak Ferdiyan pada mata kuliah satu itu memuncak, makin lengkap dengan membaca diktat panduan tersebut. Ia menyodorkan kepada Heri, teman satu kontrakkan hampir tiga tahun ini. Heri mengambilnya dan memasukkan ke dalam ransel.

“Hem... aku males Her. Ketemu sama Dosen killer satu itu. Gak papa lah. Paling ngulang lagi semester genap nanti. Atau aku ambil mata kuliah semester pendek saja,” jawab Ferdiyan kemudian. 

Heri hanya menggelengkan kepala, anak orang kaya satu ini memang beda. Tak seperti dirinya, kuliah bergantung pada beasiswa. Tak ada waktu main-main, bersantai, apalagi bolos dalam kamus kampusnya. Nilai adalah sesuatu yang harus diperjuangkan tanpa batas. Kalau tidak, tiga tahun kuliah kedokteran akan sia-sia. Putus di ujung jalan.

Sementara Ferdiyan, meski kuliah kedokteran harus serius, tapi menunda waktu, yang artinya menambah biaya, tak jadi soal baginya. Ia memang kurang sreg masuk fakultas ini. Setengah dipaksa oleh orang tuanya yang keduanya dokter spesialis. Yah, meskipun didukung oleh otaknya yang di atas rata-rata itu. Sungguh beruntung dirinya.

Suatu ketika....

“Ferdiyan, tolong bantu aku bagikan makanan di posko anak ke tenda itu!” seru Heri sembari menunjuk ke satu tenda di hadapan mereka. Sementara ia tengah sibuk menangani beberapa anak yang mengalami luka bakar ringan.

“Siap!” sahut Ferdiyan. Setengah berlari ia mengambil kotak berisi roti yang siap dibagi-bagikan. Ia menuju tenda kecil yang dimaksud Heri. Ada tiga tenda darurat. Semuanya berisi anak-anak. Orang tua mereka? Tak perlu ditanya. Kebanyakan adalah yatim piatu.
Meher News Agency: islampos dot com
Ferdiyan menyibak pintu tenda, ada delapan orang anak yang segera berdiri mengerubunginya. Hanya satu yang terlihat berbaring di bagian dalam tenda. Matanya terpejam namun tidak tidur. Suara meringis, terdengar lirih dari mulut kecilnya.

Ferdiyan segera membagikan roti-roti itu pada anak lainnya. Ia lalu masuk ke tenda, mendekati anak yang terbaring lemah. 

“Kamu kenapa? Mana yang sakit?” tanya Ferdiyan. Ia meletakkan kardus yang tinggal berisi dua roti di sisi kanan. Berjongkok dan mengelus lembut kening sang anak.

Perlahan mata itu terbuka. Tampak lelah dan lemah. Ia mengelus perutnya perlahan.

“Perut, Kak. Aku sakit perut,” ujarnya lemah. Ferdiyan mencoba memeriksa tanda vital anak tersebut. Nadinya lemah, napasnya tersengal. Hanya sebatas itu, observasi lebih dalam tak mampu ia lakukan. Semua ilmunya terlupakan seketika. Apa lagi berkenaan dengan lambung dan perut. Bukankah mata kuliah itu diabaikannya?

“Sebentar, kakak panggil teman kakak dulu ya. Sekarang kamu berusaha untuk makan roti ini. Barangkali bisa membuat perutmu lebih nyaman,” Ferdiyan berusaha mendudukkan sang anak. Dan menyodorkan roti yang bungkusnya telah ia buka terlebih dahulu.

Anak berusia kurang lebih enam tahun itu menatap lurus mata Ferdiyan. Ada binar di sana. Sesuatu yang suci dan harapan.

"Bisakah Kakak memberiku obat yang mampu membuat perutku tak merasa lapar lagi?”*

Pertanyaan itu menyayat hati Ferdiyan. Anak ini korban diskriminasi Suriyah. Kelaparan, kedinginan, kesakitan bertubi melandanya. Pertanyaan itu terlalu dalam. Ferdiyan merasakan air mata menetes di pipinya. Sakit. Menyesakkan.

Tiba-tiba Ferdiyan kehilangan seluruh ingatannya. Entah raib ke mana. Ia hanya merasakan bingung. Anak yang di hadapannya pun menjadi samar-samar. Namun sesenggukan tangis masih tersisa di dada Ferdiyan.

Di lain waktu....

Calon dokter muda itu tengah berada dalam perjalanan ke suatu tempat. Ia duduk nyaman di dalam mobil mahal keluaran terbaru milik ayahnya. Menikmati embusan sejuk AC dan wanginya pengharum mobil. Nyaman sekali. 

Tiba di lampu merah, mobil terpaksa berhenti. Rambu lampu baru saja berganti merah. Ferdiyan mengamati sekitarnya. Mobil dan motor rapi berjajar menanti pergantian warna lampu rambu-rambu lalu lintas. Sama seperti mobil yang dikendarainya. Ia tak ingin mengobrol dengan sopir ayahnya itu. Hanya matanya mengamati sekeliling. 

Seorang bocah berbaju lusuh, terlihat lelah memangku adiknya. Ya, adik. Setidaknya demikian persepsi Ferdiyan. Bocah itu mungkin berusia lima atau enam tahun, dan adik yang di pangkuannya sekitar satu tahunan. Tertidur pulas meski cuaca begitu terik. Sekantong tisu jualan tergeletak di sebelah mereka. Oh, sepertinya bocah itu berjualan sambil mengasuh adiknya.
Pontianak tribunnews dot com
Tiba-tiba Ferdiyan telah berdiri tepat di depan kedua bocah tersebut. Ia sempat bingung. Memutar kepala mencari mobil yang ia tumpangi. Di seberang jalan, Pak Mamad, sopir ayahnya tersenyum padanya. Mobil sedan hitam itu terparkir manis di sisi jalan.

“Mau beli tisu kak?” tanya bocah itu. Ferdiyan mengangguk saja.

“Lima ribu sebungkus, Kak. Mau beli berapa?” tanyanya lagi. Ferdiyan tak menjawab. Ada rasa penasaran yang membuncah seketika di otaknya.

“Kamu kenapa jualan sambil ngasuh begini? Kan jadinya susah? Ibu kamu ke mana?” pertanyaan Ferdiyan meluncur begitu saja. Ia benar-benar penasaran.

Bocah itu menunduk. Matanya menatap takut ke ujung jalan. Ferdiyan melirik sekilas mengikuti pandangan sang bocah. Ia melihat seorang ibu berbadan gemuk, usianya mungkin 40 tahunan, tengah asyik mengisap rokok dan bercanda dengan pedagang rokok asongan. Sepertinya mereka kenal.

“Itu ibu kami, Kak. Kata ibu aku harus jualan seperti ini agar jualanku laku. Kakak cepatlah beli. Nanti aku kena marah ibu,” ucapnya takut. Ferdiyan menghela nafas. Ia melihat kaki sebelah kanan bocah itu tidak berukuran normal. Ukurannya lebih kecil.

“Apa adikmu tak bangun-bangun. Mungkin dia ingin menyusu?” Ferdiyan berpura-pura memilih tisu yang hendak ia beli. Sang bocah menggeleng.

“Kata ibu, adik tak akan bangun setidaknya sampai siang. Ibu sudah memberinya susu tidur.” Ferdiyan tersentak. Kalau ia tak salah tafsir, itu artinya bocah bayi ini dicekoki obat tidur.

“Kak, jangan lama-lama, ibu sudah memandangi kita sejak tadi,” aura ketakutan kembali mendominasi.

“Baiklah, kakak beli semua tisunya ya. Biar kamu dan adik kamu bisa istirahat. Sebentar lagi siang,” Ferdiyan menghitung jumlah tisu dan membayarnya lebih.

“Terima kasih kak, tapi ibu akan memberikan sekantong tisu baru untuk kujual lagi sampai sore,” lirihnya, namun masih sampai ke telinga Ferdiyan. Hatinya berdenyut. Lagi-lagi rasa ngilu menusuk. Apa ini? Mengapa perasaan seperti ini, kejadian seperti ini menghampiriku lagi? Ferdiyan tak mengerti. Ia tak kuasa mencerna segala peristiwa. Hanya mampu menjalani dan hanyut tiba-tiba dalam adegannya.
bersamaislam dot com
Di lain waktu....

Ia merasa tengah berada di suatu tempat yang asing. Suara peluru berdesing, suara bom menggelegar menulikan telinga. Ferdiyan menutup mata, tak berani menyaksikan apa yang terjadi. Rasa takut meliputi seketika. Di mana aku? Pertanyaan yang akan terjawab sebentar lagi.

Ia mengenakan jas putih kedokteran, dengan atribut lengkap tim medis khusus. Orang-orang sibuk mengurus banyak hal. Mengangkat jenazah berdarah, merawat yang terluka, bahkan ada yang hanya merintih, berlindung di sela tembok runtuh. Kakak memeluk adiknya, ibu memeluk anaknya. Tak ada air mata. Mereka hanya berusaha. Ketegaran nampak sempurna sudah.

Tak lama suasana berubah. Tepatnya Ferdiyan telah berpindah ke lokasi yang lagi-lagi tak ia kenali. Tempat ini lebih tenang. Sekelompok anak tengah berkerubung, duduk manis di tanah, memakan hidangan dari sumbangan orang-orang baik hati. 

Ferdiyan mendekat. Langkahnya begitu saja menuju seorang anak perempuan berusia 2 tahunan. Ia tengah mengunyah makanannya dengan senang. Mata besar dengan bulu mata lebat dan lentik itu menyapanya, senyuman manis terukir di bibir mungil itu. Ferdiyan ikut tersenyum. Ia berjongkok, ingin mengelus rambut keriting milik sang bocah, namun urung seketika, saat putri kecil itu dengan polosnya mengulurkan makanan kepadanya. Ia menawarkan makanan digenggamannya pada Ferdiyan.**

Ya Tuhan... apa lagi ini? Rasa mengiris kembali hadir. FerdiyanPaham pada adegan kali ini. Bocah korban perang ini menyangka ia meminta makanan. Sementara Ferdiyan tahu, keadaan putri kecil itu tidak dalam keadaan mampu berbagi.

Ferdiyan membuka matanya. Tersengal tak karuan. Apa aku bermimpi? Pertanyaan logis yang memenuhi kepalanya. Ditatapnya langit-langit kamar kos. Dia sendiri, dan memang baru terbangun dari tidur panjangnya. Ia melihat jam dan tanggal di gawainya, masih hari yang sama mata kuliah GASTROINTESTINAL DAN HEPATOBILIER. Ia menghela nafas. Bekas air mata masih terasa basah di kedua pipinya. Ini nyata. 

"Aku mungkin bermimpi. Tapi kenyataan dua dunia yang apa adanya. Semua begitu terasa. "

Kehidupannya yang mewah dan sia-sia, berbanding terbalik dengan kehidupan bocah-bocah yang barusan saja ia temui. Mimpi, namun nyata dan ada.

Ah, aku mau kuliah. Agar bisa memberikan bantuan pada mereka anak-anak hebat itu. Aku malu menjadi tak berguna dan tak mampu berbagi. Sementara mereka? Dalam segala kekurangan, tetap berusaha teguh. Ucapnya dalam hati.

***

*Diambil dari keterangan sebuah gambar di facebook. Seorang dokter yang memberikan obat dan dijawab demikian oleh sang anak. Tapi sayangnya, saya tidak menemukan lagi foto itu.

**Terinspirasi dari foto seorang anak menawarkan makanan pada seseorang, sementara ia adalah pengungsi korban perang. Saya tidak menemukan lagi fotonya. Kalau ada yang menemukan, mohon informasikan ke saya ya.

Komentar

  1. Wahhhh sedih banget ya mendengar cerita ini, kadang kita yang seperti ini sudah cukup mendapatkan semuanya malah masih tidak bersyukur. Semoga ada lembaga yang mau mengurus dan mengembangkan potensi anak anak yang ada dijalanan itu agar bisa sekolah dan belajar bersama yang lain. Kasian sih liatnya, kadang gak tega banget

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sudah ada sih lembaga seperti itu dari pemerintah. Tapi sayangnya tidak terlalu membantu. Terima kasih sudah mampir.

      Hapus

Posting Komentar

Silakan berkomentar dengan baik dan bijak. Terima kasih sudah mampir dan meninggalkan jejak 🤗