Budaya memberi kado saat bagi raport


Tahun ajaran 2016-2017 sudah usai. Bagi orang tua, sudah saatnya menanti hasil belajar anak yang terangkum dalam raport. Bagi guru, inilah moment paling sibuk. Merekap nilai dan mengetik raport. Ups, nilai apa sih yang direkap? Sepertinya banyak sekali. Raport apa pula yang mesti diketik?

Berhubung saya adalah guru TK, maka saya sedikit menjelaskan tentang TK ya. Baiklah, sesuai dengan kurikulum 13, untuk penilaian itu ada banyak jenjang yang harus dilalui sebelum kemudian tertuang dalam raport. Ada penilaian anekdot, penilaian hasil karya, penilaian ceklist, penilaian analisis, baru penilaian rangkuman. Setelah semua penilaian usai, barulah dapat dituliskan diraport.

Untuk TK, nilai tidak dituliskan dengan angka, melainkan penjabaran dengan kata-kata. Aspek yang dinilai, yakni nilai agama dan moral, fisik motorik, kognitif, sosial emosional, bahasa dan perkembangan seni. Sehingga raport TK itu panjang, sampai enam lembar satu anak. Jadi seperti guru bercerita tentang sejauh mana perkembangan anak kepada orang tua, disertai foto kegiatan anak.

Nah, saat bagi raport tentunya saat yang ditunggu-tunggu. Bagi orang tua sudah pasti ingin mengetahui perkembangan anaknya, bagi guru adalah moment pertanda usainya satu tugas semester ini. Selain itu, ada 'budaya' khas saat moment bagi raport, yakni memberi kado kepada guru dari orang tua. Sejak saya SD dulu sampe sekarang saya jadi guru, 'budaya' ini tetap bertahan. Dan point ini yang sebenarnya ingin saya bahas pada postingan kali ini.

Kado. Wah, siapa sih yang tidak senang menerima kado? Sebenarnya banyak kebaikan didalam memberi hadiah, salah satunya mempererat tali silaturrahim dan menumbuhkan cinta.

Namun, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam memberi hadiah atau kado kepada guru, terutama saat bagi raport. Saya akan membahasnya sesuai dengan sudut pandang saya sebagai guru, juga saya sebagai orang tua.

Pertama, 'budaya' atau kebiasaan ini bukanlah sebuah kewajiban bagi orang tua. Maka tidak sepatutnya orang tua menjadi terbebani dan bahkan memaksakan diri untuk memberikan hadiah atau kado kepada guru.

Sebagai orang tua saya memandang bahwa kado atau hadiah ini adalah tanda terimakasih saya kepada guru, atas usahanya mendidik dan menjaga buah hati saya. Saya akan memberi sesuatu yang sesuai dengan kemampuan saya. Tidak berlebihan tentunya. Jika saya punya rejeki lebih, akan saya beri yang besar, namun jika tidak saya akan memberi yang kecil. Jika saya dalam keadaan tidak mampu, maka saya tidak akan memberikan kado atau hadiah melainkan ucapan terimakasih yang tulus dan mendokan mereka.

Sebagai guru, saya memandang hadiah atau kado adalah salah satu bentuk rizki dari Alloh. Apapun yang saya terima, maka itulah yang terbaik untuk saya. Jika ada orang tua yang tidak memberikan kado atau hadiah, hal itu tidak berbeda dengan orang tua yang memberikan kado. Saya tetap mencintai anak-anak didik saya setulus hati, karena mereka adalah anugrah dan titipan dari Alloh. Toh, saya sudah mendapatkan gaji untuk kerja dan usaha saya. Maka kado tidak menjadi parameter penilaian 'terimakasih' dari orang tua. Ketulusan sesungguhnya saya harapkan dibalas pahala oleh Alloh SWT.

Kedua, saya memandang adanya kesenjangan yang tampak dari fenomena pemberian kado atau hadiah ini. Misalnya, menunjukkan kaya atau miskin. Dan tampak pula fenomena ini menciptakan perasaan tinggi dan atau rendah hati. Orang tua yang memberi kado bersaing dengan orang tua yang lain. Orang tua yang tidak memberi kado merasa berkecil hati terhadap orang tua yang lain atau terhadap guru.



Sekali lagi saya tekankan, bahwa memberi kado atau hadiah ini seharusnya dapat menjadi pahala bagi kita. Maka yang paling utama adalah NIAT. Jangan sampai salah niat, yang menjadikan kado atau hadiah kita hanya duniawi dan tak bernilai amal ibadah kepada Alloh.

Ketika saya sebagai orang tua, tidak memberikan kado atau hadiah kepada guru, bukan berarti saya harus berkecil hati karena saya tidak mampu. Atau merasa tidak enak karena saya tidak sempat membelikan apa-apa untuk guru. Saya memandang semua ini sudah ketentuan dari Alloh. Karena kado atau hadiah merupakan rizki, maka ketika saya tidak mampu memberi kaDo untuk guru saat bagi raport, memang belum rizki baginya dari saya. Semoga ia mendapatkan rizki yang jauh lebih baik dari jalan yang lain.

Demikian coleteh siang ini. Sebagai orang tua, saya mohon maaf dan terimakasih sebanyak-banyaknya kepada para guru yang mendidik anak-anak saya.

Sebagai guru, saya tekankan bahwa kado atau hadiah BUKAN KEWAJIBAN dan tak ada keburukan atas tidak adanya kado atau hadiah bagi saya. Dan terimakasih kepada orang tua yang sempat memberikan kado buat saya. Kesemuanya, atas segala ketulusan saya selalu mendoakan kebaikan untuk anak-anak didik saya. Sungguh, saya mencintai mereka karena Alloh, bukan karena hadiah atau kado.
***

*pic from google.

*NB. Mohon maaf pic pertama, tadi saya memakai foto berlogo. Saya hanya fokus kepad pic yang berkenaan dengan bagi raport dan tidak bermaksud membawa-bawa lembaga atau sekolah tertentu. Mengenai tulisan saya ini, saya tulis berdasarkan pengamatan dan pengalaman saya pribadi sejak saya sekolah dulu. Bukan hanya merujuk pada satu atau dua sekolah saja dan lebih condong pendapat saya sebagai orang tua.

Komentar