Jatuh Cinta pada 'Dosa'

Kepengen posting kisah ini, tentang pengalaman seseorang. Sangat bermakna. Dan semoga menjadi rambu-rambu ya....
Kalau harus mengingat kembali apa yang pernah kualami tentang jatuh cinta, masih saja sering hadir segumpal sesak di dadaku. Mungkin sebentuk penyesalan yang membuat perasaan seketika campur  aduk tak karuan. Dan itulah yang kurasakan saat mulai memaksa menuliskan kisah ini. Jujur, aku harus menahan rasa sakit yang tak bisa kujelaskan, agar kisahku ini bisa menjadi pelajaran penting bagi saudara-saudaraku yang membacanya.

            Cinta itu sangat menjanjikan kebahagian. Ya, kebahagian duniawi yang sering kali membuat lupa pada akhirat. Itulah yang terjadi padaku saat itu. Aku jatuh cinta pada seorang Ikhwan tawadhuk—setidaknya begitu yang terlihat di mata. Kami beda universitas, tetapi dipertemukan oleh satu organisasi ekstra kampus. Selama kenal, kami tidak pernah berinteraksi kecuali dengan tabir di antara kami untuk menghalangi tatapan langsung satu sama lain. Kalau pun harus tanpa tabir, mata kami tidak pernah bertatapan. Sebegitu menjaganya diriku pada saat tahun pertama kami kenal.

            Tetapi Allah SWT ingin menguji seberapa kuat keimananku. Ketika program KKN (Kuliah Kerja Nyata) dari universitasku mewajibkan aku untuk tinggal di sebuah desa kecil selama satu bulan penuh, ternyata aku rapuh dengan kekuatan yang sesungguhnya kosong. Banyak hal yang ku khawatirkan, sebab kami tidak boleh sekalipun meninggalkan desa itu selama program KKN berlangsung, kecuali karena kepentingan yang benar-benar mendesak. Itu artinya, selama satu bulan penuh aku berada dalam lingkungan yang sangat kurang kondusif untuk menjaga ibadahku. Kebetulan, teman sekelompokku tidak ada yang satu pikiran denganku untuk saling menguatkan. Aku harus berjuang dan menguatkan diri sendiri kesimpulannya. Dan saat itu, aku begitu yakin mampu dengan tegar menjalaninya. Sayangnnya, keyakinanku itu kurang kuimbangi dengan ibadahku. KKN adalah awal kehancuranku. Keyakinan akan kemampuanku melewati masa itu malah membuatku semakin lemah. Keyakinan itu membuatku sok tegar. Betapa kemudian kesombongan itu membuat aku kalah.

Allah mengujiku, benar-benar mengujiku. Ternyata dia juga KKN di desa tetangga. Desa yang juga kecil. Desa tempatku KKN dan desa tempat dia KKN seperti menyatu  sebagai satu desa. Tak terlihat jelas perbatasannya. Dan disanalah semuanya berawal.

Entah bagaimana, akhirnya kami sering—terlalu sering—berkomunikasi. Kami punya banyak waktu untuk bertemu dan berbicara panjang lebar. Entah bagaimana pula aku mulai mencair. Penjagaanku mencair. Hatiku pun mulai mencair tak terarah. Meski begitu, setiap pertemuan kami, aku selalu mengajak temanku sebagai orang ketiga. Tidak pernah mau berdua. Tapi apa bedanya bertiga jika yang ketiga pun mendukung maksiat yang mulai kami dekati? Seharusnya, apapun itu selain untuk kepentingan dakwah, pertemuan semacam ini tidak boleh terjadi, apalagi difasilitasi. Kebersamaan itulah yang kemudian menggait hatiku untuk rela mengakui bahwa aku mulai jatuh cinta. Astaghfirullah. Sungguh, bukan saat dan tempat yang tepat untuk merelakan hati pada cinta.

Semua kenangan bersama dia selama KKN ini sebenarnya sangat indah bagi ke-nafsu-an. Kenangan yang indah bagi orang-orang yang menghalalkan hubungan bernama ‘pacaran’. Tapi sungguh, aku mengangap kenangan itu adalah racun yang membunuh kekhidmatanku bersama Tuhanku! Racun yang tidak membunuh tubuh melainkan mematikan hati dan perasaanku. Aku membencinya! Sungguh membenci kesemua kenangan yang membuatku kalah dan melupakan dakwah.

Waktu sebulan sangat terasa berat bagiku. Perang rasa dalam batinku membuat semua terasa panas. Aku tahu rasa itu tak pantas, tapi di sisi lain sungguh aku menyukainya. Mulai mencintainya. Dan Syetan yang terkutuk memang licik! Kelabilanku mengatur rasa dimanfaatkannya untuk melemahkan ibadahku. Perlahan aku sadar, aku mulai kalah. Tapi aku tak mau mengalah. Aku terus memperjuangkan keimananku. Akan kujaga cinta ini hanya untuk kuberikan pada suamiku saja.

Selepas KKN, aku merasa seperti orang gila. Meski ibadahku terbilang tinggi, tapi semua tidak menguatkanku, sebab semua tanpa kekhusyukan. Pikiranku telah teracuni oleh rasa cinta, rasa berdosa juga rasa malu yang tak terkendali. Orang-orang disekitarku mulai mencemooh—seorang aktivis dakwah pacaran!—,adikku membenciku, teman seperjuanganku marah dan sinis padanya, dan itu semua membuatku semakin terpukul. Betapa sulit diriku mencari pegangan untuk tetap dijalan yang diridhoiNya. Jangankan kalian, diriku pun tak mungkin memaafkan kesalahanku. Lalu harus kemana aku mencari kekuatan?

Satu hal lagi, jikalau ada di antara saudara kalian yang melakukan kesalahan saat meletakkan cintanya, jangan pernah merendahkannya. Jangan pernah membuat dirinya tambah terperosok dengan ketegasan yang memaksanya. Jadilah penenang hatinya, berikan perlindungan dan terus temani ia menapaki kehidupan ke depan. Walau ia salah, tapi jauh dalam lubuk hati, ia sungguh ingin berusaha untuk kembali benar. Jadilah penjaganya agar ia tidak terus terperosok dengan tidak mencaci apalagi menjauhinya. Senikmat-nikmatnya maksiat, jauh lebih nikmat ketika nyawa di ujung tanduk dalam memperjuangkan Islam. Ia tengah bingung sesungguhnya, maka tetaplah menjadi saudara yang baik, yang mengerti kebingungannya.

Kulanjutkan kisahku, setelah berapa lama kemudian, Study-ku mulai terbengkalai. Kupilih cuti kuliah satu semester untuk menenangkan pikiran dan hatiku. Kuputuskan untuk mengundurkan diri dari kepengurusan organisasi ekstra kampus tercintaku agar aku tak bertemu lagi dengannya. Hampir saja aku pergi jauh meninggalkan kota itu untuk bekerja agar mampu melupakan dan menghindari maksiat yang mulai kami jalani. Satu penyesalan terberatku, mengapa dia—ikhwan tawadhuk-ku—tidak se-tawadhuk wajahnya, tidak sekuat pikirannya untuk mengatakan tidak pada maksiat ini?! Mengapa dia tidak menguatkanku untuk sama-sama menjauhi kesalahan yang sudah disadari sejak awal. Dan ternyata kami sama-sama kalah. Ampuni ya Allah. Sungguh kami ingin bertobat.

Satu hal Saudaraku, aku tidak pernah mau mengalah pada rayuan Syetan! Meski semua orang telah mengangapku hina, meski semuanya memvonis hitam pada diriku, aku tetap yakin Allah pasti memaafkanku. Kubulatkan tekad untuk segera memperbaiki. Siap tak siap aku harus menanggung resiko atas kesalahanku ini. Kuberanikan diri mengajaknya menikah. Menutup jalan Syetan. Dan betapa terpukulnya aku, ketika jawabannya yang sama sekali tidak jelas. Aku tahu dia tidak mau kehilangan diriku, tapi aku juga tahu dia belum siap untuk itu. Dia masih kuliah dan belum memiliki maisyah kecuali sedikit dari hasil menulis serabutan. Tak mungkin ia mampu menafkahiku dengan itu. Aku harus terima itu. Tapi aku tak mau menyerah. Tetap ku istikharah-kan segala keputusanku. Jika memang dia tak mampu, maka untuk lepas dari dosa ini aku harus—sekali lagi—menanggung resiko terberat sekalipun.

Kuputuskan untuk mencari calon suami yang lain, siapapun itu yang penting dia seorang lelaki sholeh yang mampu membimbingku untuk memperbaiki diri. Bukan hal mudah ketika aku memutuskan ini. Betapa air mata cinta dan penyesalan tak lagi mengalir melainkan membeku menjadi batu di sanubariku. Tapi aku tetap memiih Allah.

Kuutarakan keputusan itu padanya. Ia menangis. Sangat berat baginya melepaskanku dan begitupun aku. Tapi kami harus. Sakitnya tak terkira kala itu. Tapi kami tahu bahwa kami salah dan mesti menebusnya meski dengan perpisahan.

Dua kali aku taaruf dengan dua lelaki baik dan sholeh. Tapi sayangnya, hasil istikharah menguatkanku untuk mengatakan tidak pada mereka. Mereka tidak sefikroh denganku.

Hingga akhirnya, Allah memberikan jalan kemudahan kepada kami untuk bertobat dan menebus semua salah. Setelah ikhwan tawadhuk-ku menyandang gelar Sarjana, ia segera mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang kecil. Namun ia tak menyiakan jalan terang dari Allah itu, ia memberanikan diri melamarku. Meski tanpa harta ia meminta kerelaan ayah dan ibu atas diriku. Air mataku tumpah. Sujud syukur tiada terkira ketika ayah dan ibu mengiyakan. Betapa orang tua adalah orang yang paling mengerti deritaku. Tanpa permintaan apa pun seperti kebanyakan orang tua wanita ketika anaknya akan menikah, pernikahan kami bahkan berlangsung sedikit mewah dan meriah. Aku hanya meminta mahar semampunya. aku tak ingin memberatkannya dengan itu. Semuanya berawal dari niat, maka Insyaallah, niat yang baik akan diberikan kemudahan untuk menjalaninya.

Untuk pertamakalinya, setelah ijab-qabul terlafas, aku benar-benar mengakui dengan sedalam-dalamnya, betapa aku mencintainya hanya karena Allah. Hanya karena Allah.  Jika Allah tidak memberikan jalan maaf kepada kami, sungguh tak ada gunanya segala keduniaan.

Setelah pernikahan kami pun, aku masih tertatih membangun kepercayaan diri dan semangat memperbaiki segala segi kehidupanku. Aku masih terus merasa kotor dan berdosa. Aku masih sering menangisi kesalahanku itu, sebab kenangan buruk itu selalu mengusik kebahagian dalam kebersamaan kami yang sah kini. Penyesalan itu selalu hadir kemudian. Hanya hati yang suci yang mampu melawan nafsu yang salah. Aku tahu, kegelisahan yang masih kerap menerpaku adalah salah satu jalan Syetan agar aku larut dalam rasa bersalah dan melupakan jalan maaf Allah yang telah terbuka lebar didepanku. Tapi aku tak mau mengalah! Dan begitulah seharusnya. Kita manusia adalah makhluk termulia dan paling sempurna, dan Allah maha pengampun, maha pemberi kekuatan dan cinta, maka aku akan terus berjalan meraih kesucian dimataNya setelah apa yang telah kulakukan. Aku akan terus memohon ampun dan meminta kekuatan pada Nya untuk lebih baik menjalani hidup.
Saudaraku, jatuh cinta itu tidak salah bahkan sangat baik jika pada waktu yang tepat dan pada orang yang berhak. Sebaliknya, kegelisahan akan selalu mewarnai jika jatuh cinta pada orang dan waktu yang tidak tepat. Maka, jangan pernah menurutkan hawa nafsu untuk jatuh cinta pada siapa pun kecualai setelah ijab-qabul terlafas. Karena jatuh cinta seperti itu hanya akan melalaikan dan menyakitkan. Sungguh jodoh yang murni dipilihkan oleh Allah untuk kita dengan jalan yang suci sesuai syari’at itu jauh lebih indah.

Namun saudaraku, ketika jatuh cinta itu benar-benar tak mampu lagi dikendalikan, jangan takut untuk segera menghalalkannya. Rizki pernikahan itu sungguh nyata dan berlipat ganda. Satu kali pun, jangan pernah memberi celah pada Syetan untuk melemahkan hati kita. Jauhilah jalan-jalan menuju maksiat, sebab itulah yang akan menghantarkan pada kemaksiatan yang sesungguhnya. Dan ketika diri telah tercebur pada kubangan itu, kitalah orang yang paling dzolim pada diri kita sendiri. Wallahu’alam

Komentar